Sabtu, 26 November 2011

DR. H. ABDUL KARIM AMRULLAH Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaharuan Islam Di Minangkabau Pada Awal Abad Ke-20

BAB I
PENDAHULUAN




Buku karya Murni Djamal ini, berjudul “ Haji Abdul Karim Amrullah Pengaruhnya dalam gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad ke-20” diterjemahkan dari judul aslinya berjudul “Haji Abdul Karim Amrullah : His Influence In the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth century”. Buku ini diterbitkan dalam rangkaian kerjasama studi Islam Indonesia – Belanda, rangkaian terbitan ini diarahkan kepada distribusi publikasi penting dalam bidang studi Islam di Indonesia. Diterbitkan oleh Laiden – Jakarta 2002.
Buku ini terdiri dari 5 bab yang memuat 156 halaman, dan penulis hanya mempokuskan penulisan pada pengaruh. Haji Abdul Karim Amrullah dalam pembaharuan Islam Diminangkabau saja, yang termaktub pada bab II,  III dan IV.
Pembahasan tentang pengaruh Haji Abdul Karim Amrullah dalam gerakan reformasi Islam di Minangkabau pada awal abad ke – 20 akan banyak ditekankan pada tahun 1918 – 1930. Tahun-tahun ini perlu dianggap sebagai periode penting kaum muslimin di Minangkabau karena ditandai oleh upaya kaum reformis yang membawa kembali kaum muslimin ke ajaran murni Islam.
Dalam gagasan-gagasannya yang dirumuskan untuk menyebarkan program pembaharuan di Minangkabau, Haji Abdul Karim Amrullah mendirikan Sumatera Thawalib tahun 1918, kemudian untuk melanjutkan program pembaharuannya, setelah Sumatera Thawalib diambil alih oleh unsur-unsur komunis di tahun 1923,     Haji Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ( Organisasi Masyarakat Islam yang didirikan oleh K. H. Ahmad dahlan pada tahun 1912 di Jawa) ke Minangkabau pada tahun 1925, Haji Abdul Karim Amrullah menganggap pendidikan rakyat dan meningkatkan situasi lokal sarana penting mencapai tujuan.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi  Haji Abdul Karim Amrullah
Haji Abdul Karim Amrullah lahir di Sungai Batang, Maninjau tahun     1298 H / 1879 M  dan meninggal di Jakarta, Sabtu tanggal 21 Jumadilawal      1364 H / 2 Juni 1945. Setelah mengecap pendidikan dasar menurut garis-garis tradisional diberbagai tempat di Minangkabau, ia berangkat ke Mekkah tahun 1894 untuk melanjutkan pelajarannya dan kembali ke Minangkabau tujuh tahun kemudian. Pada tahun 1903 ia kembali kemekkah untuk kedua kalinya dan pulang ke Minangkabau tahun 1906. sebelum berangkat ke Mekkah Haji Abdul Karim Amrullah belajar mengaji pada Haji Muhammad Salih dan tata bahasa Arab pada Haji Hud di tarusan (sumatera Barat)., ia melanjutkan belajar fikih dan tafsir pada ayahnya sendiri Syekh Muhammad Amrullah, dan Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan, pariaman (Sumatera Barat).
Seperti banyak pemuda di zamannya, dia tidak mengecap pendidikan Barat seperti Sekolah Raja, tempat gurunya Ahmad Khatib serta rekan-rekannya belajar.
B.     Haji Abdul Karim Amrullah dan Gagasannya
Untuk membicarakan gagasan dan pandangan utama, berikut akan akan ditekankan gagasan Haji Abdul Karim Amrullah sebagai pembaharu gerakan Islam di Minangkabau.
1.      Haji Abdul Karim Amrullah dan Tauhid
Dalam membicarakan sifat Keesaan Tuhan ia mengambil satu ayat dalam Surah al-Ikhlas  ”Allahu Ahad” dalam ayat ini harus ditafsirkan sebagai “Allah adalah Maha Esa” Allah tidak terdiri dari berbagai unsur. Karena jka demikian, ia dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian kecil atau disentuh oleh satu panca indera dan dengan demikian tidak bisa berupa Maha Esa. Haji Abdul Karim Amrullah menambahkan Allah adalah Maha Esa dalam Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya dan Hak-Nya, ia merupakan satu-satu-Nya yang  berhak melarang ataupun menganjurkan semua urusan syar’i. tidak satupun diantara mahluk ciptaan, apakah dia seorang Nabi atau Rasul, boleh menolak hukum yang ditetapkan Tuhan.


2.      Haji Abdul Karim Amrullah dan Qur’an dan Hadis
Haji Abdul Karim Amrullah, mengtakan tentang Qur’an dan Islam dengan menyebut satu surah al-Baqarah “Hai Manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptkanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” ia mengatakan perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan tidak dapat dipraktekkan kecuali bila orang memeluk agama, karena agama adalah ukuran prilaku seorang manusia. Ia juga menyatakan, adalah keharusan bagi manusia bagi manusia untuk menganut kepercayaan. Bila seseorang menerima gagasan itu, ia mampu memahami bahwa agama bagi umat manusia adalah Islam. Haji Abdul Karim Amrullah berpendapat, tidak ada pilihan lagi bagi seorang Muslim kecuali mempelajari kitab suci Al-Qur’an, memahami penafsirannya dan memperaktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Qur’an merupakan kitab yang mencatat semua peraturan Tuhan dan mudah dipahami oleh setiap orang sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Karena itu ia menambahkan, mereka yang tidak mau memakai Qur’an sebagai bimbingan kehidupan adalah orang yang berjalan dalam kegelapan dan tidak tau arah.
Ia memperingatkan kaum muslimin, terutama tukang sihir hitam, untuk tidak menggunakan ayat-ayat Qur’an bagi tujuan keliru seperti azimat, atau alat-alat larab (ramalan).
Ketika berbicara tentang Sunnah (ucapan, tindakan dan prilaku Nabi), Haji Abdul Karim Amrullah mengatakan tidak semua kelakuan Nabi menjadi hukum untuk diikuti dalam kehidupan Muslimin, karena ada beberapa tindakan yang tidak dituntutnya untuk diikuti. Karena ada orang tertentu, baik didalam maupun diluar kalangan Muslimin, yang mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari Nabi dikarang oleh mereka yang tidak menyukai Islam. Ia menasehati kaum Muslimin agar dapat mengenali hadis yang benar atau palsu untuk mempelajari Mustalah al-Hadis (Ilmu Hadis).       
3.      Haji Abdul Karim Amrullah Mengenai Kepemimpinan Masyarakat.
Menurut Haji Abdul Karim Amrullah, upaya untuk merubah masyarakat Minangkabau harus dimulai dari struktur sosialnya, khususnya mereka yang bertanggung jawab atas Balai Nagari (Dewan Nagari). Ia mengatakan Islam harus lebih tinggi dari pada hukum adat, karena itu petugas-petugas agama adat seperti Imam, khatib, dan ulama harus lebih mengetahui dan mengerti ajaran-ajaran Islam serta praktek-prakteknya dibandingkan para penghulu (kepala adat). Para penghulu harus menjadi Muslim yang baik  dan lebih mengerti Islam dibandingkan orang biasa. Bila seorang penghulu dibimbing baik oleh kaum ulama maka ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan di dalam masyarakat. Ditambahkan, bila ke – 500 Nagari (desa) di Minagkabau bisa bekerja sama, dimana para penghulu dibimbing ulama sepenuhnya dan bisa hidup bersama-sama dibawah ajaran-ajaran agama, maka aturan Allah diterima masyarakat.    
4.      Haji Abdul Karim Amrullah dan Mistik
Dalam komentarnya mengenai praktek-praktek kontemporer mengenai mistik dimana arang menganggap Rabitah (penengah) diperlukan untuk menjadi perantara antara seorang sufi dan tuhannya, dia mengatakan praktek seperti itu tidak mempunyai dasar dalam ajaran nabi dan para sahabatnya. Ia berpendapat “disamping mereka yang benar-benar mistikus dihati dan karyanya, ada orang yang menyebut dirinya mistikus, yang menundukkan kepalanya dengan sorban dan jubah, yang setelah berdoa dan melaksanakan tindakan ibadah, tidak menginginkan pakaian bagus, atau hal-hal duniawi lainnya, memisahkan diri dari orang lainnya, tidak menginginkan makanan lezat, menolak ini dan itu bagi dirinya, dan sama sekali berserah pada ibadah dan pengulangan zikir (mengingat Allah). Kemajuan dalam Islam berkaitan dengan hasrat untuk pengetahuan yang lebih tinggi, yang dibutuhkan untuk meningkatkan kedudukan kaum Muslimin, kata Haji Abdul Karim Amrullah adalah palsu dan sia-sia dalam pandangan sufi. Praktek itu bukanlah mistik sebenarnya dan hendaklah dianggap sebagai menyesatkan.
Serangan yang pedas terhadap praktek-praktek mistik, khusunya diarahkan kepada tarekat Naqsabandiyah, mengawali era gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Pada tahun 1906 sekembalinya dari Mekkah Haji Abdul Karim Amrullah dan beberapa rekannya terlibat dalam diskusi panjang mengenai masalah tarekat Naqsabandiyah dengan sekelompok penantangnya (yang kemudian dikenal dengan Kaum tua, atau Tradisional).
Haji Abdul Karim Amrullah, sebagai juru bicara menganggap Syekh (guru sufi), sebagai mata rantai antara tuhan dan pemujanya, yang menurutnya merupakan praktek yang tidak pernah dikenal maupun diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ia berpendapat siapapun yang ingin dekat dengan tuhan, boleh langsung menghubungi-Nya sendiri, seorang diri, setiap saat dimanapun ia menginginkannya. Penggunaan Syekh sebagai penengah (Rabitah) antara tuhan dan manusia merupakan musyrik.
Konon Kaum Tua, dikalahkan dalam pembicaraan, karena tidak mempunyai argumen-argumen kuat dan masuk akal untuk membela pandangan mereka.     
5.      Haji Abdul Karim Amrullah pandangannya tentang Taqlid
Haji Abdul Karim Amrullah, berargumentasi bahwa Muqallid (orang yang mempertahankan Taqlid) tidak mau menggunakan ‘aql-nya untuk mengerti bahwa sejumlah hukum tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan kehidupan agama moderen. Haji Abdul Karim Amrullah, Mengatakan “ orang berakal harus memahami tuhan dan peraturan-peraturan-Nya agar dapat menjalankan perintah dan larangan-Nya sebagaimana mestinya “ untuk memungkinkan mereka menggali dan memahami isi dan kearifan Qur,an serta Hadist, para pemimpin agama hendaknya menguasai usul- al-figh.
Mengetahui usul- al-figh adalah mutlak, kata Haji Abdul Karim Amrullah, Karena dapat menolong seseorang untuk dapat mengerti hukum Ilahi, peraturan-peraturan yang merupakan dasar tindakan keagamaan seseorang sehari-hari. usul- al-figh Islam sangat bermanfaat membantu Muslimin mengerti pengetahuan Islam sebagai suatu kesatuan lewat upaya perorangan, tanpa secara buta mendasarkan pendapat pada apa yang telah ditetapkan dulu.
Dalam peringatanya kepaada para pembela taqlid diantara kaum tua (tradisional), ia mengatakan tidak satupun diantara ulama usul- al-figh Islam yang termashur menyarankan agar para pengikutnya menerima mentah-mentah apa yang diajarkan kepada mereka. Sebaliknya mereka menganjurkan untuk mengamati dan menganalisis ajaran-ajaran ini melalui kacamata Qur’an dan Hadist
Selanjutnya walaupun Haji Abdul Karim Amrullah menolak sikap Taklid,  tidak berarti ia menyangkal upaya-upaya penting para ahli hukum dan teologi abad pertengahan di bidang hukum Islam, ia tetap menghormati, namun tidak menyetujui mereka yang menggap ketetapan para ahli teologi ini tidak dapat diubah lagi.   


6.      Haji Abdul Karim Amrullah dan Hukum Waris Adat
Haji Abdul Karim Amrullah menegaskan bahwa hukum waris Islam (al-fara’id) harus dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau dan bukannya hukum waris adat berasal dari leluhur Minangkabau yang menganut ajaran Budha. Bagi dia tidak ada tawar menawar dan kompromi dalam menerapakan hukum Islam, hukum Islam tidak dapat dicampur dengan ajaran-ajaran atau doktrin lain. Praktek-praktek Islam, katanya harus dibersihkan dari segala jenis penyimpangan. Ia menegaskan bahwa hukum waris berdasarkan garis ibu, yang dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau tidak adil, karena, ayah, ibu dan anak-anak yang berhubungan erat selama hidup baik fisik maupun spiritual, tidak mewariskan apapun bila salah seorang diantaranya meninggal. Sebaliknya keponakan, yang pertalian darah jauh lebih renggang  dan tidak begitu menderita dibandingkan anak-anak atau orang tua yang wafat, ditetapkan dalam hukum waris adat sebagai pewaris tunggal yang sah dari harta paman mereka. Karena itu peraturan tidak sah ini harus dibuang.
Kemudian dia mengimbau para raja, pejabat pemerintah dan penghulu agar berusaha keras membuang tradisi-tradisi jahiliyah sampai semuanya hilang dari kehidupan masyarakat Minangkabau. peringatan-peringatan sama juga ditujukan kepada para hakim yang mengadili semua perkara antar anggota suku, untuk memperkuat dan menerapkan hukum Islam jika ingin menemukan jawaban yang baik dan adil bagi masyarakatnya. Tanpa adanya kerja sama untuk mengubah dan menghapus peraturan-peraturan adat yang salah (hukum waris), maka kedamaian yang dicari orang Minangkabau tidak akan pernah tercapai.
Disini kita melihat bagaimana Haji Abdul Karim Amrullah menyelesaikan masalah peka, yang belum pernah dijelaskan oleh pemimpin-pemimpin agama lain didaerah itu sebelum dia. Dia tidak mau begitu saja mengikuti ajaran gurunya, Syekh Ahmad Khatib, tetapi mencoba menggunakan nalarnya sendiri dan mengeluarkan ijtihad sendiri sehingga bias diterapkan didaerah sesuai keadaan masarakat.    
7.      Haji Abdul Karim Amrullah dan Gagasannya Tentang Perempuan
Pandangan-pandangannya mengenai perempuan sangat mirip dengan pandangan-pandangan para pemikir Muslim dan ulama abad pertengahan, ketika perempuan diharapkan menanti suaminya dirumah, dan merawat anak-anaknya. Setelah konfrensi Muhammadiyah tahun 1929, Haji Abdul Karim Amrullah  tampaknya menerima gagasan emansipasi perempuan, seperti terlihat dukungannya terhadap pendirian lembaga pendidikan perempuan.
Namun, Haji Abdul Karim Amrullah  mendukung perempuan yang bepergian jauh dari rumahnya untuk tujuan organisasi harus didampingi Muhrim mereka.
C.    Haji Abdul Karim Amrullah dan Sumatera Thawalib
Haji Abdul Karim Amrullah  sangat aktif dalam gerakan pembaharuan. Suraunya di Padang panjang berubah nama menjadi Sumatera Thawalib tahun 1918, sitem sekolah reformis muslim yang melahirkan persatuan Muslim Indonesia atau PERMI. Selain pendiri Sumatera Thawalib, H. Abdul Karim Amrullah juga mengajar disekolah  reformis tersebut dan dia mempunyai peran besar, terutama pada tahun-tahun terahir perempat pertama abad ke dua puluh, untuk memberi gambaran jelas tentang pengaruh H. Abdul Karim Amrullah di sumatera thawalib dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Sistem Sekolah Sebelum Abad ke-20
Secara tradisional Diminangkabau terdapat dua jenis sekolah religius. Yang pertama surau (sekolah mengaji) yang umunya terdapat pada setiap distrik nagari (kampung, atau desa) disitu anak-anak belajar mengaji al-Qur’an, dan kedua Madrasah dimana diajarkan pengetahuan al-Qur’an inilah jenis sekolah agama setelah tahun 1890 sedangkan sebelum tahun itu, yaitu sejak Belanda datang ke Minangkabau pada tahun 1838 samapai 1890, tidak banyak diketahui.
2.      Sekolah-sekolah Belanda
Walaupun membangun dan melatih bangsa-bangsa diwilayah koloni dan mengantar mereka kegerbang kemerdekaan merupakan tugas negara penjajah, seperti diargumentasikan pada tahun 1852, pemerintah Belanda mengabaikan tugas itu selama hampir tiga ratus tahun, khusus dibidang pendidikan, yang merupakan sarana penting untuk membangun rakyat. Karena itu pendidikan juga berarti reorganisasi, dan prioritas utama adalah didirikannya sekolah-sekolah baru. 
Wilayah Minangkabau pada paro kedua abad sembilan belas, perkembangan sistem sekolah pemerintah di pedesaan sangat lamban. Kecurigaan masyarakat tentang maksud-maksud pemerintahan Kafir dan kenyataan bahwa pembangunan sekolah sangat tergantung kepada para prakarsa kepala-kepala nagari  atau tuanku laras (kepala sub distrik) merupakan dua faktor penghambat.
Selama paro kedua abad kesembilan belas, pemerintahan Belanda telah mengenalkan sistem sekolah baru yang dirancang terutama untuk memberantas buta huruf dan menyediakan sarana pelatihan pegawai negeri rendahan . siswa-siswa sekolah ini kebanyakan terdiri atas anak-anak laras terpilih, atau bangsawan, yang kesetiannya terhadap pemerintahan Belanda tidak diragukan, sedangkan guru-gurunya terdiri dari orang Belanda yang dipekerjakan resmi oleh kantor Pemerintahan. Di ibu kota distrik pemerintahan mendirikan sekolah lima tahun dengan  bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, di Padang dan Bukittinggi didirikan sekolah Erofa, pada tahun 1850-an didirikan kweekschool atau sekolah pelatihan guru. Pada ahir abad 18 sekolah ini dikenal dengan sekolah raja (sekolah untuk penguasa)
3.      Sistem Sekolah Reformis
Sistem sekolah reformis, sistem sekolah ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu Adabiyah, diniyah, dan sumatera thawalib.
a.       Adabiyah
Walaupun secara keterkaitan tidak ada pengaruh dari Haji Abdul Karim Amrullah terhadap sistem sekolah adabiyah ini, namun penulis menganggap perlu sebagai perbandingan dari gerakan pembaharuan.
Dr. H. Abdullah Ahmad, salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan Islam, juga dipengaruhi oleh sahabat dan gurunya Syekh Tahir Jalaluddin Al-azhari  yang tinggal di Singapura. Dengan maksud memberi sumbangan pada pembangunan pendidikan Islam, H. Abdullah Ahmad meluangkan waktu untuk mengunjunginya kota itu guna mempelajari rencana sekolah reformis Syekh Tahir, Al-iqbal Al-islamiyah (penerapan Islam). Ia menjadikan sekolah ini sebagai contoh untuk sekolahnya sendiri, yaitu sekolah Adabiyah yang didirikan di Padang tahun 1909. Sebelum sekolah ini didirikan belum ada sekolah sejenis dimana mata pelajaran agama maupun pelajaran umum diberikan sekaligus. Sayang sekali, tidak lama sekolah ini disubsidi oleh pemerintah Belanda beberapa tahun kemudian, malah membawa pengaruh Belanda  disekolah ini yang menyebabkan sekolah ini menyimpang dari tujuan-tujuan sebenarnya, misalnya Adabiyah  lebih banyak memperhatikan mata pelajan sekuler dan sistem sekolah diubah serta disesuaikan dengan sekolah dasar pemerintah H. I. S (Hollansch inlandsche school). Pendidikan agama hanya menjadi latar belakang, sedangkan karakter umum sekolah itu hanya dapat menghasilkan lulusan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan orang-orang yang terlatih. Sejak itu sekolah ini tersingkir dari kegiatan-kegiatan kaum muda (reformis), karena harapan semula, untuk menjadikan tonggak gerakan pembaharuan akhirnya gagal akibat tekanan orientasi barat.
Walau demikian, Adabiyah adalah yang pertama memutuskan sistem tradisional pendidikan di Minangkabau.
b.      Sekolah diniyah dan Madrasah Diniyah
Pada tahun  1915 Zainuddin Labai El-Yunus (1890-1924), seorang  pemuda otodidak, membuka sekolah diniyahnya yang terkenal di Padang Panjang, sekolah ini menampung anak laki-laki dan perempuan dan memperkenalkan sistem sekolah baru yang berbeda dengan “sistem surau” yang lazim, dengan memperkenalkan meja dan kursi serta sistem tingkat/kelas. Dan kurikulum pelajaran umum seperti bahasa, bahasa Inggris, matematika, sejarah dan geografi juga agama.
Ketika Labai ke Padang Panjang, ia mulai mengajar di Surau Jembatan Besi, yang guru-gurunya antara lain Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdul Ahmad, di Padang Panjang ia juga belajar dibawah bimbingan Haji Abdul Karim Amrullah.
Pemahaman bahasa Arab dan Inggris yang baik memungkinkannya untuk menulis buku pelajaran  yang digunakan disekolah diniyah khusus ditingkat rendah.
Setelah ia meninggal pada tahun 1924, karyanya dilanjutkan adiknya Rahmah el-Yunusiyah yang sekaligus muridnya.
Pada tanggal 1 November 1923 Rahmah mendirikan sekolah untuk anak perempuan madrasah diniyah, bertujuan untuk memberantas buta huruf, Rahmah  yang telah belajar dibawah bimbingan Haji Abdul Karim Amrullah selama hampir  8 tahun (1918-1926). Sekolah ini dan upaya-upaya pendirinya merupakan salah satu perintis wanita terpenting di Indonesia, yang juga memperkenalkan reformasi kelompok kaum muda perempuan yang terpelajar dan energik serta berperan besar dalam gerakan-gerakan sosial dan politik di Minangkabau.
Menurut Murni Djamal, perkembangan pembaharuan pendidikan Madrasah diniyah, jika melihat masa belajar Rahmah El-Yunusiyah  pada Haji Abdul Karim Amrullah yang hampir 8 tahun, dan termasuk Zainuddin Labai El-Yunusi sebagai mantan muridnya, maka sulit menyembunyikan kenyataan bahwa pengaruh gagasan Haji Abdul Karim Amrullah diambil alih oleh mereka yang bertanggung jawab disekolah itu.
c.       Sumatera Thawalib
Sumatera Thawalib dari Padang Panjang  pada mulanya merupakan Madrasah tradisional di Minangkabau bernama Surau Jembatan Besi. Tidak puas dengan sistem pengajaran tradisional, Haji Abdul Karim Amrullah kemudian mengubah sistem kelas.
Setelah sistem tersebut digunakan selama beberapa bulan, sistem 3 tingkatan tidak memuaskan maka tingkat dasar dibagi 4 kelas sedangkan tingkat menengah dan atas menjadi tingkat V, VI, dan VII.
Untuk menjadikan Surau Jembatan Besi menjadi pusat pembaharuan Haji Abdul Karim Amrullah bekerja keras untuk menemukan sistem yang sesuai, beruntunglah Haji Abdul Karim Amrullah siswa-siswa seniornya di Surau Jembatan besi dan orang-orang lain selalu ikut aktif disampingnya. Salah satunya Haji Habib salah seorang siswa Surau Jembatan besi  yang mengambil  pemikiran dari Bagindo Jamaluddin Rasyad yang mengesankan siswa-siswa untuk pentingya organisasi, dan ia memperkarasi kawan-kawannya untuk menddirikan Koperasi dikenal dengan perkumpulan sabun mandi mereka menyediakan kebutuhan sehari-hari siswa seperti sabun, pensil dan tinta.
Dalam upaya untuk memperbaiki mutu pengetahuan dan memperdalam pemahaman siswa-siswanya tentang ajaran-ajaran Islam Haji Abdul Karim Amrullah berusaha memperkenalkan beberapa buku penting bahan-bahan yang diimpor dari timur tengah diantaranya buku karangan, al-ghazali, Ibnu Rusyd , Ibnu sina dan juga memakai karya perintis gerakan modernis islam di Mesir seperti Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Rido.
Kemudian Haji Abdul Karim Amrullah menyelenggarakan pertemuan setiap Rabu malam, dimana pembicaraan bebas dan debat berlangsung antara guru dan murid  yang berkaitan dengan masyarakat Muslim pada umumnya termasuk adat Minangkabau juga dibicarakan.
Kemudian ia menekankan bila seorang guru telah melengkapi dirinya dengan pengetahuan yang diperlukan dan memahami prinsip mengajar ia perlu melakukan satu lagi yaitu niat didalam hatinya, bahwa ia ingin mengentaskan kebodohan, terutama dibidang pengetahuan agama.
Sampai tahun 1930 lembaga-lembaga pendiidikan terpenting dari kaum muda di Minangkabau adalah sekolah Diniyah dan terutama sekolah Thwalib. Sekolah Diniyah diikuti oleh murid-murid perempuan dari hampir semua bagian Indonesia, bahkan dari Malaya. Sementara Thawalib sekolah ini juga menarik murid dari semua wilayah Indonesia. Pada tahun 1928, diseluruh Minangkabau ada sekitar 39 sekolah Thawalib dengan jumlah murid sekitar 17.000  orang. “sekolah Thawalib terbesar ada di Padang Panjang, Parabek, dan Padang Japang masing-masing dengan sekitar 750, 800 dan 500 murid. Diperkirakan, sejak pertengahan tahun 1920 –an sampai 1928 sekolah-sekolah Thawalib menghasilkan sekitar seribu lulusan.
Selanjutnya, beralih ke pengaruh komunis yang semakin besar di dalam Sumatera Thawalib, dan reaksi Haji Abdul Karim Amrullah terhadap kekuatan baru ini di dalam sekolahnya.
Keakraban politik guru dan murid Thawalib di Padang Panjang mulai tampak melalui abonemen surat kabar dan majalah bersifat politik. Serikat Islam dari Jawa menjadi topik pembicaraan mereka, khusus karena Abdul Muis, wakil ketua partai pada paro kedua tahun 1910-an sering mengunjungi daerah asalnya untuk tujuan profaganda, membangkitkan perhatian orang di wilayah itu. Barangkali pendapatnya mengenai komunisme menghidupkan menghidupkan tema tersebut di kalangan masyarakat Thawalib, ketika komunis diperkenalkan oleh Datuk Batuah, salah satu guru muda Thawalib dan penasehat organisasi siswa pada di tahun 1923.
Pada pertengahan tahun 1923, Natar Zainuddin, yang dibuang dari Aceh oleh pemerintah karena kegiatan-kegiatan politiknya, bergabung dengan Datuk Batuah yang ingin menjadikan Padang Panjang pusat apa yang disebut “Kumunisme Islam” mereka mendirikan Klub Perdebatan Internasional dan menerbitkan Pemandangan Islam, jurnal teoritik tentang komunis Islam, dan Jago-jago, organ politik yang dikenal tegas. Sejumlah besar murid dan guru muda Thawalib bergabung dengan klub debat, dimana mereka mempelajari dan memperkenalkan suatu idiologi, yang mencoba menggabungkan perasaan anti kafir Islam dengan doktrin Marxis mengenai kemiskinan.
Pengaruh Datuk Batuah, di Sumatera Thawalib, merupakan tantangan langsung  terhadap Haji Abdul Karim Amrullah yang tidak saja menentang partisipasi murid dalam politik praktis, tetapi juga mengutuk idiologi baru sebagai penyimpangan dari ortodoksi Islam. Ia menolak Komunisme, bukan karena sikap radikalnya terhadap Belanda, tetapi karena ketidak  cocokannya dengan ajaran Islam. Menurut pendapat Haji Abdul Karim Amrullah komunis menganggap agama sebagai musuh dan menyangkal adanya tuhan. Komunis cenderung mengganggu hubungan keluarga, mengabaikan semua peraturan tentang  perkawinan dan menolak milik perorangan, yang semuanya itu tidak saja diakui tetapi dipertahankan dalam Islam.
Upaya Haji Abdul Karim Amrullah untuk mempengaruhi Haji Datuk Batuah dan rekan-rekannya hanya memperburuk hubungan dengan murid-muridnya “pada tanggal 2 Agustus 1923, dirumah Datuk Batuah di Koto Lawas, Haji Abdul Karim Amrullah, didukung oleh beberapa ulama kaum muda membicarakan Komunisme dengan Datuk Batuah dan kawan-kawannya, suatu pertemuan yang berahir dengan kegagalan total. Beberapa pertemuan yang diadakan setelah itu hanya memperlebar jurang antara Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Datuk Batuah.
Menyadari bahwa wibawanya sebagai guru agama terhadap murid yang seharusnya menaruh hormat dan kesetiaan, telah menurun, dan yakin bahwa Sumatera Thawalib sedang menuju kearah yang salah, Haji Abdul Karim Amrullah mengundurkan diri dari Sumatera Thawalib. Kegagalan untuk menjual radikalisme komunisnya kepada gurunya, kelompoknya di Sumatera Thawalib berhasil memaksa Haji Abdul Karim Amrullah berhenti sebagai kepala sekolah. Akan tetapi ia digantikan oleh salah satu muridnya yang paling pandai dan tertua, Abdul Hamid Hakim alias Angku Mudo.
Oleh Karena pemerintahan Belanda percaya bahwa gerakan komunis akan membahayakan keberadaan hidup kolonial di daerah itu dan akan menciptakan kekacauan dalam masyarakat, Belanda menangkap Haji Datuk Batuah di Thawalib dan pemimpin-pemimpin partai di seluruh Minangkabau. penangkapan Haji Datuk Batuah menyebabkan pemecatan para pemimpin komunis spiritual dari Sumatera Thawalib dan ahirnya pengaruh partai di sekolah tersebut menurun. 
D.    Haji Abdul Karim Amrullah dan Muhammadiyah
Pada bulan Maret dan April 1925, Haji Abdul Karim Amrullah pergi ke Jawa untuk dua tujuan utama. Pertama, ia ingin bertemu anaknya Fatimah dan suaminya A. R. Sutan Mansur di Pakalongan. Sutan Mansur  pada waktu itu adalah pemimpin Muhammadiyah di  Pakalongan dan juga ketua Nurul Islam, organisasi pedagang asal Minangkabau di pakalongan. Kedua, Haji Abdul Karim Amrullah ingin mencari bantuan keuangan dari orang-orang Minangkabau, terutama pedagang Maninjau, untuk mendirikan sekolah agama di Sungai Batang bernama Sendi Aman. Oktober 1924, dengan adiknya Haji Yusuf Amrullah sebagai ketua. Rupanya, anak mantunya Sutan Mansur membujuk Haji Abdul Karim Amrullah untuk menggabungkan sendi Aman dengan Muhammadiyah dan sekaligus sekolah Sendi aman  menjadi cabang Muhammadiyah menjadi benih pertama di Minangkabau. Dan ia mendapat jaminan bahwa sekolah itu akan mendapat bantuan dari pedagang.
Setelah kembali ke Maninjau diutus oleh pedagang atas nama Muhammadiyah ke Maninjau. Utusan itu berasal dari maninjau dan menetap di Pekalongan, Datuk Majolelo dan Sutan Marajo, serta seorang pedagang Maninjau dari Yogyakarta Datuk Nan Bareno. Utusan itu mencapai tujuannya dengan baik membujuk para pemimpin Sendi Aman untuk menjadikan cabang Muhammadiyah dan menamakan sekolah agama yang akan didirikan  Madrasah al-ibtida’iyyah.
Dengan bantuan keuangan para pedagang perantau, Haji Abdul Karim Amrullah membangun sekolah agama dasar Muhammadiyah yang pertama. Dalam waktu singkat sekolah itu, yang juga menyediakan pekerjaan untuk beberapa lulusan Thawalib di Padang Panjang dan Maninjau. Pada ahir tahun 1925 sekolah itu  sudah mempunyai sekitar 250 murid.
Untuk membujuk sebagian besar masyarakat untuk menjadi anggota Muhammadiyah yang baru didirikan Haji Abdul Karim Amrullah, dan mantan pemimpin Sendi Aman dan ketiga perantau tersebut diatas menemukan metoda baru dengan memberi para pemimpin Muhammadiyah status adat yang tinggi. Datuk Majolelo adalah penghulu dari sukunya Tanjung, yang juga merupakan suku ketua Nagari. Datuk Nan Bareno adalah penghulu suku Melayu, sedangkan Datuk Penghulu Besar adalah penghulu Piliang yang paling disegani, lagi pula Tanjung dan Melayu adalah dua diantara keempat suku terbesar di Sungai Batang.
Saluran lain, mereka melaksanakan perkawinan antar suku untuk meningkatkan dan memperbanyak anggotanya dan memperluas pengaruhnya, disamping itu saudara-saudara kandung dan tiri Haji Abdul Karim Amrullah menjadi promotor organisasi itu pada awal keberadaan Muhammadiyah di Sungai Batang.
Pada tahun 1925 Sekolah Kelas Dua didirikan, sedangkan cabang-cabangnya, bagian wanita Aisyiyah (A’isyiyyah) dan Pramuka Hizbul Wathan (Partai Tanah Air) merupakan alat Propaganda Muhammadiyah. Aisyiyah dibawah bimbingan Fatimah, anak perempuan Haji Abdul Karim Amrullah, mampu memberikan dukungan keuangan kepada beberapa usaha Muhammadiyah. Pada bulan November 1927 hampir seperlima penduduk Sungai Batang dan Tanjung Sani telah menjadi anggota Muhammadiyah.
Selanjutnya Muhammadiyah cabang Sungai Batang mendirikan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU), yang memusatkan usahanya pada kerja sosial dan kesehatan masyarakat. Pada ahir 1927 Muhammadiyah di distrik Danau telah memiliki dua sekolah agama dan dua Sekolah Kelas Dua.
1.      Minangkabau Sebelum Datangnya Muhammadiyah
Keberhasilan Sumatera Thawalib dan Diniyah, pada awal 1920-an menetapakan kekuatan dominan sosial politik masyarakat Minangkabau.
Kaum Adat , yang kedudukan tradisionalnya sebagai kaum elit didukung Kolonialis Belanda, ini menjadi ancaman serius ketika Haji Abdul Karim Amrullah serta pengikutnya dari kaum muda dengan tujuan mengubah masyarakat sesuai dengan reformis Islam, menjadi pendukung Muhammadiyah di Minangkabau. Dan kecurigaan instansi pemerintah, membuat kaum muda lahan subur radikalisme politik     
Walaupun pemimpin Muhammadiyah di Minangkabau tidak aktif di bidang politik, gerakan itu sering terlibat dengan politik. Belanda telah membuang banyak diantara pemimpinnya, dan dengan memasukkan mayoritas reformis Muslim kedalam kaum muda yang dicurigai oleh belanda sebagai kaum komunis, dan mendapat tempat aman dalam Muhammadiyah, Haji Abdul Karim Amrullah dituduh Belanda membahayakan keamanan dan ketertiban. Kaum muda reformis membawa sebagian radikalisme politiknya kedalam gerakan ini, dan berniat mengawasi muhammadiyah jika diberi kesempatan  
2.      Pertumbuhan Muhammadiyah
Kelompok Muhammadiyah pertama diluar daerah danau adalah Padang Panjang, basis gerakan kaum muda di Minangkabau, atas nasihat Haji Abdul Karim Amrullah beberapa murid Sumatera Thawalib dari daerah  Danau mendirikan perkumpulan perdebatan Tabligh Muhammadiyah 20 Juni 1925, dalam perkumpulan ini, murid-murid belajar teknik berdakwah dan memperaktekkannya diantara mereka sendiri. Pidato-pidato mereka kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam jurnal pertama disebut Khotibul Ummah (pengkhotbaan masarakat) yang merupakan milik Muhammadiyah Padang Panjang
Kecaman pertama yang dihadapi oleh Muhammadiyah di Padang Panjang datang dari murid-murid Sumatera Thawalib dari partai komunis, menurut pandangan komunis, tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang tidak saja berada dibawah pengaruh Haji Abdul Karim Amrullah tetapi juga berafiliasi dengan organisasi Muslim di Jawa yang menerima subsidi dari Belanda.
Pada bulan Juni 1926, Saalah Sutan Mangkuto (mantan murid Haji Abdul Karim Amrullah) dan Datuk Sati, dua anggota pimpinan tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang, mengalihkan organisasi ini menjadi cabang penuh Muhammadiyah yang menjadikan cabang kedua  di Minangkabau  setelah yang pertama di Maninjau didirikan resmi Januari 1926, pada tahun yang sama kedua cabang ini mengaku beranggotakan 3.664 orang yaitu Maninjau (1.400) dan Padang Panjang (2.244). Setelah pembentukan cabang Padang Panjang, dibawah pengaruh Saalah Sutan Mangkuto, Syekh Muhammad Jamil Jaho (wafat 1945), pemimpin kaum tua yang paling berpengaruh di Padang Panjang bergabung dengan Muhammadiyah. Dengan maksud melawan pengaruh komunis, ia mendaftarkan  diri sebagai anggota Muhammadiyah dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin organisasi itu.
Dibawah pemimpin Syekh Muhammad Jamil Jaho, Muhammadiyah mengalami kemajuan penting di Padang Panjang. Pimpinan kaum tua lain yang berpartisipasi  dalam Muhammadiyah adalah Syekh Muhammad Zaini (wafat1957), pemimpin Tariqah di Simabur. Pengaruhnya terhadap para penghulu nagari menyebabkan mereka bergabung dengan Muhammadiyah dalam waktu relatif singkat kelompok itu telah berkembang menjadi lebih dari 400 orang anggota.
Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Muhammad Zaini lambat laun kehilangan perhatian terhadap organisasi Muhammadiyah, salah satu penyebabnya adalah mereka menghadiri kongres ke 16 Muhammadiyah di Pekalongan, dalam kongres itu organisasi menentukan cara untuk mendirikan suatu “majelis pendapat” (Majlis Tarjih) yang memutuskan masalah-masalah religius, dimana Muhammadiyah jelas mengumumkan bahwa mereka tidak mau mengikuti secara buta hukum yang ditetapkan di abad pertengahan. Inilah masalah peka yang dua dasawarsa    sebelumnya telah menyebabkan perpecahan di Minangkabau antara kaum muda dibawah pimpinan Haji Abdul Karim Amrullah dan rekan-rekannya disatu pihak, dan kaum tua dibawah pimpinan Syekh Khatib Ali dan Syekh Jamil Jaho di lain pihak. Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Muhammad Zaini menyadari bahwa mereka telah bergabung dengan organisasi yang keliru. Pengunduran kedua orang ini merupakan kerugian besar bagi cabang Padang Panjang. Syekh Jaho membiarkan organisasi itu dipimpin oleh orang-orang muda. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) , putra Haji Abdul Karim Amrullah yang pada waktu itu merupakan wakil ketua Muhammadiyah di Padang Panjang .
Di Bukittinggi, Muhammadiyah dipimpin seorang bernama Hitam Sutan Mudo, yang pada tanggal 11 September 1927 mengadakan rapat di surau Syekh Jamil Jambek, salah satu keputusan rapat itu adalah mendirikan cabang baru di Kota. Pada waktu yang sama, bagian wanita, Aisyiyah, dan Pramuka, Hizbul Wathan juga dibentuk. Sama seperti Haji Abdul Karim Amrullah di Sungai Batang, Syekh Jambek adalah instrumen dalam mengembangkan Muhammadiyah di Bukittinggi.
Pada konfrensi regional keempat yang diselenggarakan di Simabur (Batu Sangkar) pada bulan Mei 1929, dengan maksud mempersatukan kegiatan-kegiatan semua cabang Muhammadiyah, mengelompokkan semua cabang di Pesisir  barat Sumatera dan bergabung dengan persatuan Muhammadiyah Minangkabau PMM, yang bertindak sebagai perantara untuk cabang-cabang di Minangkabau dengan Dewan pengurus Pusat di Yogyakarta, dan juga antar organisasi dan instansi-instansi lokal
Haji Abdul Karim Amrullah mendirikan cabang Muhammadiyah pertama di Sumatera, disamping cita-citanya, dia juga melihat Muhammadiyah sebagai sarana untuk memerangi mantan muridnya di Sumatera Thawalib, yang aktif dalam partai Komunis.
Kekuatan Muhammadiyah di Minangkabau didasari pada sifat kepemimpinannya. Para pemimpin berasal dari Minangkabau dan membentuk satu kelompok yang mempunyai hubungan erat, pimpinan ini terdiri dari reformis Muslim anti-komunis.
Kita melihat bahwa menantu Haji Abdul Karim Amrullah, Sutan Mansur, menjadi wakil resmi Hoofd Bestur Muhammadiyah untuk seluruh wilayah pulau Sumatera, sedangkan putrinya Fatimah, istri Sutan Mansur, menjadi wakil resmi Aisyiyah. Disamping itu Haji Abdul Karim Amrullah menyumbangkan seorang putra lagi, seorang pemuda bersemangat tinggi bernama Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dan adik perempuan, Hafsah kepada pimpinan cabang-cabang Muhammadiyah dan Aisyiyah di Maninjau dan Padang Panjang.
Dari uraian diatas kita bias melihat bahwa Muhammadiyah di Minangkabau mampu menciptakan inti kepemimpinan, terdiri dari mereka yang berhubungan erat dan akrab satu sama lain melalui persahabatan, perkawinan, dan pendidikan agama.       
3.      Muhammadiyah dan Penguasa Pemerintah Belanda
Kecurigaan pejabat Belanda semakin kuat terhadap Muhammadiyah yang pemimpin serta anggota aktifnya adalah mereka yang dulu belajar di Sumatera Thawalib, seperti kita lihat sebelumnya, mantan murid sekolah ini juga yang bertanggung jawab atas penyebaran gerakan komunis di Padang Panjang beberapa tahun sebelumnya. Dengan sendirinya permintaan kedua pemimpin Muhammadiyah dari Minangkabau dalam konfrensi maupun kegiatan organisasi itu pada umumnya, tampaknya membuat pejabat pemerintah Belanda curiga.    
Akan tetapi hubungan baik anatara pengurus pusat dan pejabat tinggi Belanda, khususnya Vander Plas, penasehat urusan pribumi, yang pandangannya didukung oleh Gubernur Jenderal, sangat mempengaruhi Gonggrijp, Residen Sumatera Barat, yang bersikap tidak bersahabat dalam menangani Muhammadiyah didaerah itu. Vander Plas mendesak agar Muhammadiyah di Minangkabau jangan dilihat sebagai organisasi yang berbahaya.
Dalam kongres Muhammadiyah pengurus pusat menekankan perlunya tercipta hubungan baik dengan instansi pemerintah setempat. Untuk mencapai tujuan pengurus pusat membentuk konsulat di setiap keresidenan, diwakili oleh seorang Konsul, yang pengangkatannya ditentukan oleh pusat, ini berarti bahwa Persatuan Muhammadiyah Minangkabau (PMM), yang baru saja didirikan akan diganti dengan konsultan Muhammadiyah di Minangkabau  kelihatan kongres itu merupakan kemenangan pengurus pusat, para pemimpin muda Minangkabau yang telah menggunakan forum kongres untuk menyamapaikan pidato politiknya, diberi alternatif  tetap di Muhammadiyah tapi menjauhi politik, atau mundur dari keanggotaan aktif. Kebijakan ini menyebabkan mengkristalkan keanggotaan.
Unsur-unsur berorientasi politik dalam Muhammadiyah di Minangkabau kemudian mengkelompokkan diri melalui saluran Persatuan Muslim Indonesia, atau PERMI. Sedangkan yang lain tetap  dipimpin oleh konsul pertamanya A. R. Sutan Mansur.
4.      Muhammadiyah dan Penguasa Adat
Muhammadiyah yang didirikan dan dibina secara spiritual oleh Haji Abdul Karim Amrullah dan tampaknya mengikuti gagasan-gagasannya, dengan sendirinya oleh para penghulu dilihat sebagi tantangan langsung terhadap kedudukannya yang otoritatif dan elitis. Pengungkapan keadaan sosial yang tidak memuaskan, seperti yang dilukiskan oleh Muhammadiyah, berarti bahwa para penghulu telah gagal memenuhi fungsi-fungsi adat mereka. Akibatnya pertentangan dan ketegangan diantara kedua belah pihak tidak dapat dielakkan.
Kesuksesan Muhammadiyah terutama dipedesaan  tergantung pada kemampuannya untuk menginfiltrasi ke dalam Balai (Dewan Nagari). Tetapi pada tahun 1929 di Sulit Air, seorang Penghulu di pecat dari Dewan Nagari karena mempromosikan Muhammadiyah, menurut anggota balai dengan mempromosikan Muhammadiyah, penghulu itu telah melakukan kesalahan besar karena ia beranggap bahwa Muhammadiyah mewakili agama. Disamping itu ia juga mengabaikan fungsi tradisional penghulu.
Para Penghulu cenderung menggunakan mekanisme untuk menghalangi penyebaran Muhammadiyah di nagari mereka. Salah satunya masalah yang dihadapi di Desa Kubang, kegagalan mendapatkan izin bagi kegiatan Tabligh mereka dari penguasa adat. Akan tetapi sesudah kongres Muhammadiyah Minangkabau tanggal 28 Maret 1930, Perserikatan Permusawaratan di Kubang, yang telah membuat Musallah dan Sekolah Yatim bergabung dengan Muhammadiyah. Sekitar bulan April 1930, penguasa adat memerintahkan Muhammadiyah dan sekolah Yatim ditutup, dan para anggotanya untuk berhenti dari gerakan dan meninggalkan kedudukannya sebagai pejabat agama di nagari.
Saalah Sutan Mungkuto, ketua Perhimpunan Muhammadiyah Minangkabau, ia mengirim kawat penting ke Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta memeberitahukan mereka tentang insiden itu dan meminta pengurus Pusat untuk membicarakannya dengan Kantor Urusan Pribumi. Kawat Saalah berhasil menyelesaikan  perkara nagari oleh pejabat Belanda tertinggi di Indonesia dan menunjukkan kemampuannya untuk merongrong kedudukan penguasa adat di desa maupun martabat wakil Belanda tertinggi di Pesisir Barat Sumatera, menimbulkan dampak luas. Muhammadiyah dan sekolah-sekolahnya di buka kembali dan organisasi di Kubang memperoleh kemenangan.
5.      Guru Ordonnantie
Guru Ordonnantie diterbitkan pada tahun 1905, yang diberlakukan hanya di Jawa dan Madura, menurut ordonansi tersebut “ setiap Pendeta non-Kristen harus mendapat izin dari kepala (adat) pribumi sebelum ia boleh memberikan pelajaran agama” Ordonansi itu masyarakat bahwa seorang guru agama harus menyusun daftar muridnya dan daftar itu memberi hak kepada  regent (Bupati) atau kepala daerah lainnya untuk mengawasi sekolah-sekolah agama.
Rencana pemerintah untuk menerapkan Guru Ordonnantie 1925 di Minangkabau didengar oleh A. R. Sutan Mansur, menantu Haji Abdul Karim Amrullah, ketika dia menghadiri kongres Muhammadiyah ke -17 yang diadakan di Yogyakarta 12 sampai 20 Februari 1928. sekembalinya beliau menyebarkan  kabar buruk itu, Bapak mertuanya Haji Abdul Karim Amrullah adalah orang yang pertama yang diberikan informasi. Ia menjelaskan kepadanya bahwa orang Muslimin di Minangkabau otomatis akan kehilangan kebebasan mereka untuk melangsungkan kegiatan agama jika Ordonnantie itu diterapkan.
Untuk menyusun dukungan bagi peluncuran kampanye yang efektif untuk menolak Ordonnantie, pada bulan Juni 1928 Haji Abdul karim Amrullah mengundang beberapa kawan akrabnya dan pengikut yang dipercaya untuk  rapat.
Untuk memberi informasi lengkap tentang Ordonnantie tersebut  diatas berikut dikutip bebrapa pasal Guru Ordinnantie 1925, subtitusi ordonansi 1905, yang telah diterapkan beberapa tahun di Jawa, dan Ordonansi yang diperbaharui itu dimaksudkan untuk diterapkan di Minagkabau juga.
Pasal I
1.      Barang siapa bermaksud memberikan pelajaran agama kepada orang di luar keluarga (rumah) sendiri, diharuskan sebelum melakukan demikian, untuk memberitahukan maksudnya secara tertulis;
2.      kantor yang menerima surat informasi itu harus segera mengeluarkan surat, sebagai identifikasi bahwa informasi itu telah diterima. 
Pasal II
1.      Guru agama atau Mubalig atau da’I tetap harus mempunyai surat identifikasi yang hanya bisa diberikan oleh instansi pribumi yang bertugas mengawasi para pribumi
2.      Guru agama diharuskan memelihara catatan muridnya dan pelajaran apa yang akan diberikan kepadanya, dan instansi pribumi mempunyai hak untuk mengecek catatan-catatan itu setiap waktu.
3.      Pasal III dan IV menjelaskan bagaimana pengecekan itu harus dijalankan, misalnya dengan memeriksa catatan, dengan datang ke kelas, dengan memeriksa tempat akomodasi murid dan sebagainya
4.      pasal V menyebut bahwa untuk memberikan pelajaran agama bisa dicabut oleh instansi berwenang bila dianggap perlu, misalnya karena guru telah mendoktrinasi murid-muridnya untuk melecehkan pemerintah.
Kesadaran kaum Muda tentang bahaya Guru Ordonnantie  di Minangkabau, menghasilkan rapat yang mengambil keputusan bahwa Ordonansi itu harus ditolak. Rapat itu juga setuju untuk mengadakan konfrensi Ulama se-Minangkabau yang dijadwalkan pada 18 Agustus 1928.
Dilain pihak, dalam kampanye yang semakin intensif untuk mengumpulkan dukungan bagi pelaksanaan Ordonnantie, Dr. De Vries (petugas kantor urusan Pribumi ke Minangkabau) gagal mengambil kesepakatan dengan Haji Abdul Karim Amrullah, akan tetapi setelah mengunjungi bebrapa distrik di Minangkabau, ia berhasil memperoleh dukungan baik dari kaum adat  dan tradisional maupun dari reformis muslim terkenal Haji Abdullah Ahmad.
Konferensi untuk membicarakan penyangkalan Guru Ordonnantie diadakan tanggal 18 agustus 1928, dan dihadiri oleh 2000 ulama dan wakil-wakil organisasi Muslim di Minangkabau, serta Dr. De Vries dan bebrapa wakil pemerintah lainnya. Laporan resmi Belanda menyatakan bahwa diantara 23 pembicara 17 berasal dari kaum Muda , 5 dari Kaum Tua sedangkan satu lagi bukan anggota kedua fraksi.
Ketika Haji Abdul Karim Amrullahmenyampaikan sambutannya yang kesohor, ia memulai sambutannya ia mengatakan :
“Ketika aku pertama kali mendenar rencana pemerintah untuk menerapkan ordonnantie  di Minangkabau, seluruh dasarku goyah, seluruh kerangkahku lumpuh. Aku menyadari bahwa pemerintah tidak sengaja merencanakan untuk melaksanakan Ordonnantie yang sangat berat ini di daerah kami. Aku yakin bahwa Pemerintah Agung tidak bermaksud sama sekali untuk melukai perasaan kami. Akan tetapi  Ordonnantie ini direncanakan untuk diterapkan hanya karena kesalahan kami. Para ulama’ selamanya terpecah, selamanya bertengkar satu sama lainnya.”      
Pada saat itu air mata mulai bergulir pada pipinya, dan kemudian Haji Abdul Karim Amrullah lebih lanjut mengatakan bahwa rencana pemerintah untuk menerapkan Guru Ordonnantie  merupakan bahaya sebenarnya yang mereka hadapi dan akan ada lebih banyak lagi bahaya selama mereka terpecah. Konfrensi benar-benar terpengaruh oleh sambutan Haji Abdul Karim Amrullah. Selama sambutan itu berlangsung para pendengar tidak dapat mengendalikan diri, ada yang menjerit keras dan semuanya menjadi sangat emosional. Pada saat itu ia menanyakan kepada pendengarnya apakah mereka ingin bersatu, pertanyaan disambut  oleh pendengar dengan suara bulat menderu.
Lalu ia menoleh kepada Dr. De Vries, yang berada diantara pendengar bersama-sama dengan beberapa penguasa lain mengamati peristiwa istimewa dan spektakuler itu, dan ia menyampaikan pesan berikut kepadanya :
“Tolong sampaikan kepada pemerintah Agung bahwa mereka jangan menerapkan Ordonnantie itu disini karena kami tidak lagi terpecah  

Akibat seruan Haji Abdul Karim Amrullah, yang membicarakan bahaya-bahaya perpecahan antar ulama dan ancaman terhadap Islam, konfrensi akhirnya menerima resolusi yang menolak Guru ordonnantie, Hasanuddin datuk Singo Mangkuto dan Haji Abdul Majid dipilih untuk menyampaikan keputusan ini, yang juga dikirim kepada Tweede kamer (Majelis rendah) di Den Haag Belanda, kepada Volksraad (Dewan Rakyat, Dewan Perwakilan Tertinggi untuk seluruh Indonesia) di Jakarta dan Penasehat Urusan Pribumi juga di Jakarta. 
Resolusi ini menunjukkan bahwa baik sikap berapi-api konferensi anti-Guru Ordonnantie serta fanatisme religius yang ditunjukkan oleh reformis Muslim di Minangkabau diperoleh dari pengaruh Haji Abdul Karim Amrullah, ia merupakan bapak spiritual gerakan oposisi yang telah disebarkan melalui sistem sekolah Muhammadiyah.  Setelah itu tidak terdengar lagi kabar tentang penerapan Ordonnantie di Minangkabau, yang membuktikan sukses Muhammadiyah dalam mengalahkan rencana Pemerintah Kolonial Belanda.







BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Untuk mengakhiri book report ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Dalam gagasan pembaharuannya, Haji Abdul Karim Amrullah berusaha  membersihkan ajaran-ajaran agama yang masih dianut masarakat Minangkabau yang menyimpang dari  Al-Qur’an dan Hadist.
2.      Perkembangan pendidikan agama Islam di Minangkabau tidak terlepas dari pengaruh Haji Abdul Karim Amrullah, baik sebelum dan sesudah didirikannya Sumatera Thawalibnya telah banyak melahirkan alumni-alumni yang cemerlang untuk pembaharuan pendidikan Islam, ini terlihat seperti telah berdirinya Sekolah Diniyah dan Madrasah diniyah
3.      Walaupun Haji Abdul Karim Amrullah, harus meninggalkan Sumatera Thawalibnya dikarenakan pengaruh komunis. Haji Abdul Karim Amrullah  adalah sosok yang tidak bisa dipungkiri sebagai memperkenalkan, dan membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau walaupun hambatan dari kaum adat dan pemerintah Belanda menjadi tantangan. Melaui pendidikan dan keluarganya beserta alumni Sumatera Thawalib Muhammadiyah menjadi organisai yang berpengaruh di Minangkabau
B.     Penutup
Segala puji bagi Allah, yang telah memberilkan kesehatan, kekuatan untuk dapat menyelesaikan penulisan book report ini. Harapan tulus penulis semoga book report ini menjadi rujukan pembaharuan pemikiran untuk penulis khusunya dan umunya bagi pembaca. Amien.

BLU (Badan Layanan Umum)

UNDANG-UNDANG BADAN LAYANAN UMUM (BLU) KELEBIHAN, PELUANG DAN TANTANGAN MASA DEPAN PERGURUAN TINGGI

A.    Pendahuluan
Paradigma baru pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi.
Paradigma ini dimaksudkan untuk memangkas ketidakefisienan. Memang sudah menjadi persepsi masyarakat bahwa pemerintah selama ini dinilai sebagai organisasi yang birokratis yang tidak efisien, lambat dan tidak efektif. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan harus profesional akuntable dan transparan. Seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modern bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai public service agency dan sebagai investor. Peranan sebagai regulator dan administrator erat sekali kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayan masyarakat dan sebagai investor harus dinamis dan dapat diitransformasikan menjadi unit yang otonom.[i]
Kebijakan pemerintah mengeluarkan kebijakan reformasi di bidang pengelolaan keuangan membuktikan bahwa pola pengelolaan administrasi publik dalam era reformasi dan globalisasi yang bercorak desentralisasi dengan penekanan pada sumberdaya manusia sebagai unsur utama dalam pengembangan dinamika pengelolaan pelayanan publik sudah sesuai dengan semangat proses reformasi birokrasi di lingkungan instansi pelayanan publik. Pola pembiayaan yang sentralistik selama ini sangat dirasakan sebagai penghambat oleh banyak instansi pelayanan publik termasuk perguruan tinggi (PT) dalam pengambilan keputusan, di tengah dunia global yang begitu dinamis di mana arus modal, sumber daya dan tenaga kerja mengalir begitu cepat dari satu ke negara ke negara lain tanpa mengenal batas kedaulatan dan wilayah. Situasi tersebut merupakan peluang dan sekaligus ancaman bagi setiap indivindu, kelompok maupun institusi. Bagi yang kreatif dan antisipatif hal itu juga akan dengan mudah dalam mengubah ancaman menjadi peluang melalui pola korporasi untuk membentuk kekuatan dalam memenangkan persaingan. Namun, tidak demikian bagi yang tidak siap secara natural mereka justru akan ditinggalkan atau bahkan menjadi lemah karena sumberdaya yang dimiliki termobilisasi ke tempat lain yang lebih menguntungkan.

B.     Pembahasan
1. Karakteristik dan Jenis Badan Layanan Umum (BLU)
Bermula dari tujuan peningkatan pelayanan publik tersebut diperlukan pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang saat ini bentuk dan modelnya beraneka macam. Sesuai dengan pasal 1 butir (23). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan: Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.[ii]
Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum, yaitu:
  1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara;
  2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;
  3. Tidak bertujuan untuk mencarai laba;
  4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
  5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
  6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
  7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil;
  8. BLU bukan subyek pajak[iii]
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
  1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;
  2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan
  3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.[iv]

Tujuan BLU yaitu :
  1. Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
  2. Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis yang sehat;
  3. Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.
Institusi yang dapat menerapkan PK BLU :
  1. Instansi yang langsung memberikan layanan kepada masyarakat (organic view);
  2. Memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

2. Lingkup Keuangan BLU
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:
  1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
  2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan;
  3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintaahn yang bersangkutan;
  4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
  5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan;
  6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah;
  7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;
  8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;
  9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari msyarakat atau badan lain;
  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.[v]
Dengan pemikiran baru tersebut diharapkan bukan bentuknya saja suatu unit pemerintah menjadi Badan Layanan Umum yang melayani masyarakat tetapi tingkat pelayanan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang profesional, efektif dan efisien oleh pengelola unit tersebut dengan otonomi pengelolaan yang akan diberikan.

3. Permasalahan BLU dan solusinya
Dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai. Adapun masalah-masalah tersebut adalah :


a.      Pengelolaan kas BLU menghambat pembentukan Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Sesuai dengan PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU pasal 16 ayat (1), BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, menyimpan kas dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dalam pasal 14 juga disebutkan bahwa penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU dan pendapatan lainnya yang bersumber dari selain APBN/APBD (pendapatan operasional, hibah, maupun hasil kerjasama dengan pihak lain) dilaporkan sebagai PNBP kementerian/lembaga atau PNBP daerah. Pendapatan-pendapatan ini (kecuali hibah terikat) dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara/ Daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah.[vi]
Walaupun hal ini bisa diperdebatkan karena dalam menyelenggarakan kegiatannya BLU juga membuat perencanaan kerja dan penganggaran yang tertuang dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU, namun pada kenyataannya antara perencanaan anggaran dengan realisasinya sangat besar kemungkinan timbul selisih atau varians. Varians timbul karena BLU dapat menghimpun dana selain dari APBN/APBD dan dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU. Memang benar belanja BLU yang dimaksud harus sesuai dengan RBA BLU, namuun kondisi semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terutama apabila varian ini digunakan baik oleh BLU maupun kementerian Negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah guna menghimpun dana nonbudgeter (dana taktis) yang secara tegas oleh Suryohadi Djulianto, penasihat KPK, dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.[vii]
Pemerintah sebenarnya sudah menerapkan beberapa alternatif untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan mensyaratkan RBA BLU agar sesuai dengan rencana strategis kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah. Selain itu juga sudah diatur mengenai tindakan yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian Negara/daerah pada BLU dan penerapan otorisasi batasan maksimal penggunaan anggaran secara bertingkat.
Namun, selain hal tersebut di atas, pemerintah melalui Menteri Keuangan sebaiknya mengeluarkan peraturan terkait proses atau mekanisme pengelolaan kas BLU yang lebih rinci meliputi teknis dan administrasinya. Semua penerimaan BLU yang dikategorikan sebagai PNBP dan pengeluaran BLU harus terlebih dahulu dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara Daerah sebagaimana diamanatkan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dan terkait istilah dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU tetap harus mengikuti tertib administrasi sebagaimana instansi public lain yang menerapkan prosedur SPM dan SP2D. Yang perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai batasan fleksibilitas penerapan praktik bisnis BLU terkait pengelolaan kas/anggaran agar tetap sesuai dengan RBA dan rencana strategis instansi induk (kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah) yang bersangkutan. Peraturan yang akan dibuat ini tidak hanya diperuntukkan bagi BLU saja, tetapi juga meliputi instansi yang merupakan otorisator penerimaan maupun pengeluaran Negara/Daerah demi menjaga efisiensi pengelolaan BLU.
b.      BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut.
Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”.[viii] Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Padahal, sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”.[ix] Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah:
  1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.
  2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.[x]
Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.

4. UU BLU, Kelebihan, Peluang dan Tantangan Perguruan Tinggi
Pada akhir bulan Maret lalu UU BHP memang memang dihapuskan, karena betentangan dengan UUD 45, namun masyarakat tidak dapat bernafas lega begitu saja, karena ada UU penggangi UU BHP yaitu UU BLU.
UU BLU tidaklah jauh berbeda denga UU BHP, undang undang ini memberikan kebebasan pada perguruan tinggi dalam mengatur perbendaharaan kasnya. Pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Praktik bisnis yang sehat. UU BLU memungkinkan pihak perguruan tinggi untuk memperoleh sektor pendanaan diluar mahasiswa, misalkan saja dengan menetapkan biaya sewa gedung, ataupun perparkiran, saran dan prasarana memanglah juga berpengaruh pada peningkatan mutu dari satuan pendidikan, namun dengan UU BLU peningkatan sarana dan prasaran dijadikan lahan untuk meraup keuntungan guna meningkatkan keuangan dari perguruan tinggi, dan seperti yang kita ketahui kualitas dari perguruan tinggi tidak hanya dilihat dari fasilitas yang tersedia tetapi juga dari jumlah riset yang dilakukan. Nampaknya pemerintah haruslah lebih bijaksana dalam membuat keebijakan – kebikjakan dalam mengembangkan mutu pendidikan Indonesia.[xi]
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik yang berstatus BHMN maupun yang berstatus Universitas Negeri agaknya akan ramai-ramai menjadi BLU. Sebuah pilihan yang ironis, sebuah lembaga pendidikan yang secara hukum tidak berpijak pada UU pendidikan tapi UU perbendaharaan negara yang secara substansial berlawanan dengan Undang-undang yang lainnya sebagaimana dijelaskan di atas.
            Persoalannya adalah ketika Universitas Negeri menjadi BLU apakah sesuai dengan ruh pendidikan nasional? Dalam konsepsi pendidikan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 bahwa negara memiliki tanggungjawab khusus atas penyelenggaraan pendidikan nasional, wujud konkrit dari tanggungjawab khusus tersebut adalah antara lain adanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan sekolah-sekolah negeri. Jika Universitas Negeri menjadi BLU maka status negeri itu menjadi tidak utuh, negara melepaskan sebagian tanggungjawabnya terhadap dunia pendidikan. Dalam bahasa lain BLU adalah wajah setengah hati Negara dalam berpihak pada dunia pendidikan.[xii]
           Ketika otonomi keuangan ini dijalankan, secara otomatis kebijakan pendapatan seutuhnya dilakukan kampus. Upaya memperoleh pendapatan kampus yang paling mudah adalah dari SPP mahasiswa, karenanya kenaikan SPP dengan persentase yang besar adalah keniscayaan.  Di sisi lain BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta, dengan kata lain  PTN yang menjadi BLU akan mengelola pendidikan layaknya seperti perusahaan. Hal ini bermakna BLU adalah upaya mewiraswastakan pemerintah (enterprising government).[xiii]
Meskipun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan.
Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan. Ketika lembaga pendidikan sudah berubah fungsi menjadi “perusahaan” ini bertentangan dengan konsepsi pendidikan yang dikemukakan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara.
Pendidikan merupakan usaha kebudayaan (-bukan perusahaan komersil-) yang bermaksud  membimbing hidup dan tumbuh kembangnya jiwa raga anak didik agar melalui garis kodrat pribadinya dan pengaruh  lingkungannya, peserta didik  mengalami kemajuan lahir dan batin. Dengan perubahan lembaga pendidikan  menjadi BLU maka tugas lembaga pendidikan untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai agar menghasilkan manusia yang berbudaya  akan mengalami hambatan serius karena terkontaminasi kepentingan modal perusahaan.
Otonomi Pendidikan: Bukan Otonomi Keuangan
Banyak jalan menuju otonomi, langkah tergesa-gesa banyaknya lembaga pendidikan tinggi untuk menuju fully otonom, agak mengkhawatirkan. Jika yang dimaksud adalah otonomi akademik maka kita selaku masyarakat kampus sangat mendukung penuh, namun jika yang dimaksud otonomi keuangan di mana kampus harus mencari dana sendiri padahal kampus negeri ini adalah amanah konstitusi sebagai tanggungjawab khusus negara, maka otonomi ini kehilangan akar historis dan akar konstitusinya. Ada semacam bias ontologis dari identitas universitas negeri.
Otonomi pendidikan dimaknai pemerintah sebagai upaya negara untuk memberi kebebasan pada instansi pendidikan, agar lebih mudah dalam mengatur manajeman, baik keuangan maupun akademik. Makna otonomi yang demikian itu bisa menjadi “bomerang” ketika lembaga pendidikan negeri juga disibukkan untuk mencari dana layaknya sebuah perusahaan.
Otonomi pendidikan PTN seharusnya dimaknai sebagai otonomi akademik, otonomi research, otonomi pemikiran, otonomi gagasan dan otonomi pengelolaan yang pada akhirnya memberi manfaat besar bagi pendidikan dan bangsa Indonesia secara lebih luas, sehingga tidak kehilangan ruh pendidikan nasionalnya.

C.    Kesimpulan
Ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi mengenai badan layanan umum (BLU) ini, yaitu :
1.      Badan layanan umum merupakan perwujudan dari reformasi keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
2.      Pada penerapan BLU dijumpai permasalahan-permasalahan terutama yang terkait dengan benturan kepentingan antara BLU dengan peraturan pemerintah yang ada.
3.      Efek lanjut dari status BLU Universitas adalah keleluasaan Universitas mengelola keuangan (otonomi keuangan)
4.      Sinkronisasi peraturan antar unit-unit pemerintah yang terkait adalah cara yang paling logis dan komprehensif didalam mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan BLU ini.


DAFTAR PUSTAKA

Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Amin Abdullah, Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), Ygyakarta. 2006. hlm. 37
Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU , Permasalahan Badan Layanan Umum di Indonesia. http://tomiwiranto.blogspot.com/2009/03/badan-layanan-umum-blu.html
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3
Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU/tomiwiranto.blogspot.com
Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan.Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang

Hartini Nara, Dosen PLB FIP Universitas Negeri Jakarta (UNJ). BHP Ditolak, BLU Jalan Terus? http://www.didaktikaunj.org/index.php/categoryblog/187-hartini-nara






[i] Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
[ii] Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
[iii] Amin Abdullah, Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), Ygyakarta. 2006. hlm. 37
[iv] Amin Abdullah, …. Hlm. 38
[v] Amin Abdullah, Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), Ygyakarta. 2006
[vi] UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
[vii] Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU , Permasalahan Badan Layanan Umum di Indonesia. http://tomiwiranto.blogspot.com/2009/03/badan-layanan-umum-blu.html
[viii] Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum
[ix] UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3
[x] Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU/tomiwiranto.blogspot.com
[xi] Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan.Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang

[xii] Hartini Nara, Dosen PLB FIP Universitas Negeri Jakarta (UNJ). BHP Ditolak, BLU Jalan Terus? http://www.didaktikaunj.org/index.php/categoryblog/187-hartini-nara

[xiii] Ibid