Sabtu, 26 November 2011

ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASAN MODERNISASINYA

A.    Pendahuluan
Studi tentang pemikiran Abduurahman Wahid yang lebih dikenal dengan sebutan “Gus Dur” merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik” penelitian Islam, khususnya Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigma modern mindedness (pengagungan terhadap modernitas) kepada mindset riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade 1970-an, penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Ada dua agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-an telah berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang meskipun bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan pergulatan panjang dengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis. Puncak seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang (politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggap mengkhianati perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis.
Membicarakan pemikiran Abdurrahman Wahid, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols[i]. Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Abdurrahman Wahid sendiri terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Abdurrahman Wahid besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular[ii].
   Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Abdurrahman Wahid tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia, semuanya terjadi karena Abdurrahman Wahid selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai gagasan modernisasi Abdurrahman Wahid.

B. Pembahasan
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran Abdurrahman Wahid dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Abdurrahman Wahid ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.
Abdurrahman Wahid sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Abdurrahman Wahid (dan seluruh concern pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Abdurrahman Wahid ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.
Bagi Abdurrahman Wahid (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Abdurrahman Wahid lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Abdurrahman Wahid kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya[iii].

Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Abdurrahman Wahid dilahirkan adalah era developmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.
Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta), maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri (priyayinisasi santri).
Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya terhadap gagasan-gagasan pembangunan  (development), yang merupakan konsep ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan bertujuan.
Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-bangsa industri. 
Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing intellectual. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. [iv]
Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya tidak manageable.  Pada tataran politis, modernisasi kemudian menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (fungtional valuational pluralism). [v] Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.
Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme. 
Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri, namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik. 
Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai “ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin lebarlah potensi konflik tersebut. [vi]

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. [vii] Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan, meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama, namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendiri.

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.   
Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik.[viii] Dalam hal ini, tujuan itu telah diarahkan kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.
  Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan masyarakat.
Paradigma ini yang dikritik Abdurrahman Wahid, karena dalam sejarah, selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.
Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Abdurrahman Wahid kemudian menambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Abdurrahman Wahid dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi hegemoni negara. Jadi, Abdurrahman Wahid bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur ekonomi.[ix]
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Abdurrahman Wahid. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.
Orientasi kultural ini pula yang membuat Abdurrahman Wahid tidak melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Abdurrahman Wahid sebut sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.[x] Semisal Pancasila, di mana Abdurrahman Wahid tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis kultur.  
Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan. Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?
Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid kemudian memberikan tiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama, pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.[xi]
Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.[xii] Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti yang dikehendaki kebudayaan modern.[xiii]
Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).
Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries) maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara.[xiv] Proses ini, yang oleh Abdurrahman Wahid disebut sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”[xv] menemu ruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.
Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme, semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.[xvi]
Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus  kritkus tradisi, melainkan berangkat dari satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Abdurrahman Wahid, pendekatan positivistik dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Abdurrahman Wahid temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah Abdurrahman Wahid kemudian mengamini sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.


C. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran Gus Dur sering dinilai banyak kalangan sebagai pemikiran yang terlalu maju dan melampaui masanya sehingga, bagi yang kurang mengerti, terkesan kontroversial, nyleneh, atau nabrak-nabrak. Bagi saya, hal itu justru bukti kemodernan dalam dirinya, yang timbul sebagai implikasi dari penguasaan yang baik atas informasi (buku) yang tak terkira banyaknya. Maka, buat “membaca” Gus Dur, kita mesti menyiapkan pula informasi yang beranekaragam, yang setara dengan yang dimilikinya.
Kendati dikenal luas sebagai seorang yang modernis, Gus Dur tak pernah sekali pun menanggalkan nilai-nilai tradisional pesantren yang menjadi latar belakangnya. Kebersahajaannya membuktikan hal itu. Setenar atau semaju apa pun pemikiran-pemikirannya, tempatnya berpulang pada akhirnya adalah melalui pesantren juga—kembali kepada kiai, santri, dan warga nahdliyin keseluruhan.
Hal inilah barangkali yang mesti menjadi teladan bagi kita semua dan harus kita teruskan. Kita tentu harus senantiasa berpikiran maju, sebagai konsekuensi dari zaman yang melaju ke depan. Akan tetapi, kemajuan tersebut jangan sampai mengabaikan nilai-nilai tradisional yang menjadi jati diri kita. Terkait dengan ini, kita bisa meniru Jepang. Jepang terkenal sebagai bangsa modern dan maju yang tumbuh selaras dengan nilai-nilai luhur tradisinya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000
Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980
Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981,
Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001
Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971
Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985
Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991
M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994
Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981
Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999




[i] Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
[ii] Al-Zastrouw, 1999: 32
[iii] L Santoso, 193-199
[iv] Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90
[v] Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
[vi] DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-2
[vii] M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm  9-21
[viii] Fachry Ali, Op.cit.
[ix] Donald E Smith, op. cit
[x] Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
[xi] Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 3
[xii] Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24
[xiii] Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 51
[xiv] Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14
[xv] Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
[xvi] Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar